dalambentuk pinjaman pembiayaan yang mudah dan murah kepada masyarakat Desa Bambang yang memiliki usaha mikro, dan memperkuat peran usaha mikro, dalam upaya memberdayakan ekonomi masyarakat. Kata Kunci: bank thithil; dana bergulir; bunga. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan persoalan klasik bagi umat manusia.
› Opini›Kekerasan terhadap Minoritas... Menghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita, yang sudah jadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat, bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan. Kompas Didie SWSatu dekade terakhir, Indonesia mendapatkan catatan buruk mengenai kekerasan terhadap ilustrasi, pada tahun 2012, Human Rights Watch HRW mengeluarkan sebuah laporan yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang tinggi dalam aksi kekerasan terhadap minoritas. Pada saat itu, Presiden SBY diminta untuk menekan peningkatan kekerasan terhadap minoritas yang berpotensi terjadi di Indonesia. Kritik ini menegaskan bahwa Indonesia di mata dunia internasional menjadi negara yang akrab dengan kekerasan, khususnya terhadap minoritas. Kritik juga memberikan peringatan bagi kita, khususnya pemerintah, untuk lebih tegas dalam mengambil peran mencegah dan melindungi kelompok HRW memberikan makna negatif dalam konstruksi citra Indonesia di mata dunia internasional. Secara lebih luas, laporan HRW jadi catatan serius dalam kasus pelanggaran HAM di Hari Hak Asasi Manusia HAM pada 10 Desember 2021 ini menjadi momentum sekaligus refleksi bahwa kekerasan terhadap minoritas di Indonesia menjadi isu problematik yang tak pernah berhenti terjadi. Malah melihat polanya semakin sistematis dan terlembagakan dalam berbagai bentuk yang ada. Kita harus mengingatkan bahwa negara harus melindungi minoritas, apa pun bentuknya, bukan malah melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi dengan laporan HRW itu membawa kita pada kasus-kasus yang terjadi sepanjang 2019 dan kurun 2020. Meski laporan HRW dirilis hampir sembilan tahun lalu, relevansinya masih mengingatkan kita pada serangkaian kasus kekerasan terhadap minoritas beberapa waktu lain yang menarik disimak juga, seperti dirilis adalah data tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas, khususnya dalam kerukunan beragama, yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas berjudul Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi. Survei dilakukan pada 2018 dan hasilnya memperlihatkan, kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Sebanyak 82,7 persen menyatakan merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang yang menarik dari hasil survei ini? Sungguh tak habis pikir, rentetan tindakan anarkistis terjadi di Tanah Air setiap hari. Maraknya kasus kekerasan terhadap minoritas berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama dalam penolakan pembangunan masjid atau gereja di lingkungan mayoritas yang beda kekerasanBegitu gampangnya masyarakat kita melakukan praktik kekerasan. Seolah masyarakat kita seperti rumput panas yang mudah terbakar. Dalam hitungan menit bisa meletup amarah dan amuk massa. Masyarakat sering kali brutal jika melakukan praktik kekerasan. Beberapa kali kantor pemerintahan, seperti kantor bupati dan instansi pelayanan publik lain, hancur dibakar pengujung 2020, kita digemparkan dengan tragedi pembantaian satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tragedi itu terjadi pada 27 November 2020, menewaskan empat warga minoritas, pelaku mengambil 40 kilogram stok beras dan membakar enam rumah warga. Tragedi kemanusiaan ini tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya, dan sebagai bagian dari warga yang beradab, kita harus mengutuk keras kekejian tersebut. Tindakan kekerasan dengan dalil apa pun hingga merenggut nyawa adalah tindakan paling barbar dalam sejarah juga Intoleransi yang MencemaskanTragedi Sigi ini pula yang membawa kita merenungkan kembali arti penting kemanusiaan dan peradaban dalam praktik sosial kita sehari-hari. Refleksi kritis itulah yang mengantarkan kita mempertanyakan apakah kehidupan sosial kita masih bisa menikmati apa yang disebut kehidupan beradab civilized life sebagaimana disebutkan Alfred Marshal bahwa semua individu bisa menikmati civilized life dengan proteksi hak-hak individu oleh saat bersamaan, yang membuat kita semakin sedih adalah reproduksi kekerasan terhadap minoritas semakin subur dalam beberapa tahun terakhir. Praktik kekerasan ini secara masif semakin menempatkan wajah Indonesia yang berada dalam labirin kekerasan. Dengan kata lain, sulit melepaskan kekerasan sebagai mekanisme sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki sumber daya sumber daya inilah yang kemudian semakin melanggengkan kekerasan secara diskursif dalam tatanan sosial. Akibatnya, kelompok-kelompok yang defisit sumber daya, yaitu kelompok minoritas, semakin terpinggirkan dalam formasi sosial SupriyantoRasionalisasi kekerasanPasca-Orde Baru, kita dihadapkan pada kondisi sosial yang memiliki dinamika sangat tinggi. Konflik sosial horizontal menjadi fakta yang tak terbantahkan. Jika ditelusuri lebih jauh, selama Orde Baru, kita dibenturkan dengan politik Orde Baru yang mengharamkan terjadinya konflik sosial. Potensi konflik diredam sedemikian rupa karena dapat mengganggu kestabilan politik penguasa. Ibaratnya, konflik masyarakat ditutup di bawah karpet yang tak tampak ke setelah karpet kekuasaan Orde Baru tumbang, semua konflik yang disembunyikan bermunculan ke permukaan. Masyarakat tak diajarkan mengelola konflik sebagai sebuah entitas penting dalam ruang sosial. Sudah 22 tahun Reformasi berlangsung. Celakanya juga, selama kurun waktu tersebut, berbagai konflik sosial horizontal ataupun berbagai praktik kekerasan kelompok sipil seolah tak kunjung eskalasinya semakin meningkat dengan berbagai akar masalah yang sering kali gara-gara hal sepele. Kita bisa menyaksikan dengan saksama di televisi, para pelajar yang melakukan aksi tawuran dengan sadis menghancurkan bis kota ataupun mobil pribadi yang berada di sekitar lokasi lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan kekerasan. Saya membayangkan, jika praktik kekerasan terus berlangsung, ini akan berbahaya bagi kohesi sosial yang kontraproduktif dalam pembangunan meminjam penjelasan Erich Fromm, psikolog psikoanalis yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt, masyarakat kita yang akrab dengan kekerasan disebut destructiveness. Ciri ini merujuk pada karakter masyarakat yang berupaya mencari kekuatan dengan cara merusak dan menghancurkan kelompok lain yang dianggap mengganggu dan memberikan ketidaknyamanan bagi kelompok pelaku kekerasan tindakan kekerasan tersebut dirasionalisasi sebagai tugas, kewajiban, ataupun tanggung jawabnya. Karakteristik yang dikemukakan Fromm tersebut sejatinya sudah menjadi peringatan bagi kita untuk tidak melanggengkan kekerasan dalam struktur kognitif masyarakat kita. Jika di lapangan kita melihat pola reproduksi sosial kekerasan terus berlangsung secara masif, maka masyarakat kita sesuai dengan apa yang dijelaskan Fromm 1995 sebagai ”masyarakat sakit” the sick society.Baca juga Konsolidasi Organisasi Masyarakat SipilPada masyarakat sakit, kita perlu simultan mengembalikan masyarakat sakit ke masyarakat sehat. Ini memerlukan pendasaran sosial, kultural, pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum yang mampu menopang ruang sosial kondusif bagi seluruh kewargaanMenghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita yang sudah menjadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan kekerasan dengan segenap aparatnya menjadi aktor penting yang mampu menyediakan ruang sosial bagi pendasaran masyarakat sehat tersebut. Kelompok minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasaan ekonomi politik negara dalam labirin kekerasan tersebut menunjukkan bahwa negara gagal memberikan proteksi sosial ekonomi kepada kelompok rentan ini. Akibatnya, dalam relasi ketimpangan tersebut, minoritas menjadi kelompok yang terancam hak-haknya dan kian terpinggirkan dalam formasi sosial itu. Fenomena ini dialami secara masif oleh berbagai kelompok minoritas yang ’’tersisih’’ dalam kontestasi sosial minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasan ekonomi politik sosiologis, relasi sosial kita menghadapi apa yang disebut situasi ’’tanpa kewargaan’’ Robet, 2013193. Situasi ketika kelompok minoritas kehilangan identitas dan hak-haknya sebagai ’’hasil’’ kontestasi sosial politik tersebut. Dalam konteks itulah diperlukan politik kewargaan yang mendorong kelompok-kelompok minoritas memperjuangkan identitas dan hak-haknya sebagai bagian dari kewargaan mereka identitas ini bisa menjadi konter terhadap hegemoni sumber daya yang dengan kasatmata sangat surplus dalam kontestasi tersebut. Mekanisme ini akan berjalan jika negara bisa mengambil peran strategis dalam berbagai kebijakan sosial ekonomi yang dengan tegas memberikan proteksi kepada kelompok minoritas sisi lain, secara kasatmata kita bisa melihat di lapangan, negara melalui aparatusnya datang terlambat, tidak berdaya, dan membiarkan setelah tindakan kekerasan tersebut berlangsung. Aparat seolah tak berdaya menghadapi masyarakat yang brutal tersebut. Aparat kepolisian harus lebih responsif jika tidak ingin selalu dikatakan membiarkan kekerasan tersebut informal di masyarakat juga tak kalah pentingnya memiliki peran penting bagi perilaku masyarakat. Kepemimpinan informal menjadi role model masyarakat dalam berperilaku sehari-hari. Maraknya praktik kekerasan belakangan ini membuat kita prihatin dengan hilangnya dialog sebagai cermin dari rasionalitas Rakhmat HidayatJika ada kelompok masyarakat yang berbeda pemikiran ataupun faham hingga ideologi, saya kira secara elegan bisa menyelesaikannya dengan dialog kultural yang membangun kebersamaan. Dengan demikian, jika terjadi konter diskursus, kita akan melihat terjadinya dialektika yang produktif. Dengan cara ini, kita terus belajar menjadi bangsa yang memiliki peradaban Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta UNJ; Fellow Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan CRCS UGM 2020 EditorSri Hartati Samhadi, yohaneskrisnawan
ABSTRAKPraktik-praktik rasisme yang terjadi di Jerman seperti gerakan anti Islam dan Xenophobia merupakan salah satu faktor penyebab munculnya citra negatif di Jerman. Untuk menghapus citra negatif tersebut, pemerintah dan masyarakat harus bekerja PERAN JERMAN MENGHAPUS DISKRIMINASI. Selly Julita. Download Download PDF. Full PDF Package
Seorang karyawan. Ilustrasi JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, masih terdapat praktik-praktik ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja. Di antaranya berkaitan dengan pelaksanaan pengupahan, rekruitmen, seleksi, kesejahteraan, jaminan sosial, pelatihan, pendidikan, kenaikan jabatan atau kondisi kerja secara ujar Muhaimin, terus menerus melakukan berbagai terobosan untuk menghapus diskriminasi salah satunya dengan melakukan jejaring kerja sama dan koordinasi antar kementerian, instansi terkait, organisasi pengusaha, serikat pekerja, serikat buruh serta pemangku kepentingan lainnya. Pada tahun 2013 pihaknya mengeluarkan aturan melalui Kepmenakertrans Nomor 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan tingkat nasional, kata Muhaimin, diharapkan dapat menjadi salah satu wadah dalam upaya pencegahan dan penghapusan ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja. "Kami juga menargetkan adanya komitmen dari perusahaan-perusahaan untuk mencantumkan kesepakatan Penerapan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama dalam Pekerjaan tanpa Diskriminasike dalam perjanjian kerja bersama PKB yang melibatkan pekerja dan pengusaha," katanya, Rabu, 27/8.Saat ini, ujar Muhaimin, tercatat sebanyak perusahaan yang telah melakukan perjanjian kerja bersama. Dari jumlah itu, baru 752 perusahaan yang mencantumkan antidiskriminasi tersebut. Ditargetkan, terang Muhaimin, minimal setiap tahun 200 perusahaan mencatumkan anti diskriminasi dalam perjanjian kerja bersama. Ke depannya diharap seluruh pihak yang terlibat dapat mendukung upaya pemerintah untuk menghapus dan mencegah praktik-praktik diskriminasi di tempat kerja, sehingga akan terwujud ketenangan bekerja dan ketentraman berusaha.
UpayaMemerangi Praktik Diskriminasi Rasial melalui Sarana Hukum Pidana
Myramemberi jawaban singkat untuk membalikkan kekhawatiran. Feminisme, ujarnya, adalah perlawanan terhadap tindakan dan praktik diskriminasi serta penindasan. "Maka harus dibalik. Feminisme itu adalah cara berpikir dan juga cara melawan yang tepat untuk mengalahkan semua fundamentalisme, radikalisme, dan lain-lain," ujar Myra.
Setiaporang yang menunjukkan kebencian atau perasaan kepada orang oleh. karena perbedaan ras dan/atau etnis yang berupa: a. menulis kata-kata, gambar dan/atau menempatkan suatu tulisan yang. berisi kata-kata atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang. dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, yang mana kata-kata atau- ԵՒչаф уሙ
- ቇէտիго шυբ
- Отዌда մω
- ጦаλոֆուቇ ебամፉн южаዴካዓοпе